Skip to main content

MAAF JIKA BUATMU CEMBURU

Hasil gambar untuk cemburu



Oleh : Ummu Siwi


Kuhadiahkan tulisan ini untukmu, orang-orang yang menyayangiku, dan yang kucintai. Meski tulisan ini berawal  tentang cintaku pada satu hal, yang mungkin sering membuat kalian tak percaya pada cinta kita, cinta antara aku dan kau, dan mereka, dan kalian semua. Meski ini tentang cinta yang tak mungkin kugantikan, dan hampir selalu membuatmu marah. Bukan ku ingin abaikan kalian, sebaliknya aku justru ingin membuat kalian memiliki cinta yang sama denganku, cinta padanya, ya padanya, Al Quran.
Betapa tidak kita akan mencintainya sedangkan Allat ta’ala sendiri mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (QS. Fathir: 29-30). Apakah berlebihan jika aku mengatakan cinta padanya, hingga menggeser rasa cinta (menurut rasamu seperti yang sering kalian proteskan padaku) pada kalian? Mungkin iya, tapi entahlah, aku tak bisa memilih kata selain itu, selain cinta.
Baiklah, mari sini, duduk dekatku, biar kuceritakan tentang cintaku itu. Semoga Allah berkehendak pula menumbuhkan cinta yang sama ini di hatimu, Sayang. Dulu, dulu sekali ketika usiaku masih sebaya dengan anak-anak kelas empat atau lima SD, aku belajar di surau yang jauh dari rumah kita. Jauh untuk ukuran anak-anak ketika itu. Berangkat ba’da maghrib bersama 4-5 teman, membawa obor karena belum ada listrik. Kita belajar sorogan waktu itu, baru juga bergiliran menghadap Bu Nyai sekitar empat anak sudah adzan isya’, bisakah kau bayangkan seberapa jauh jarak surau dan rumah waktu itu? Bisa jugakah kau bayangkan bagaimana perjalanan pulang malam itu, menyusuri jalan setapak di desa kita, di sisi rumpunan bambu, terkadang hujan, gangguan binatang, dan sergapan rasa takut pada gelap malam di hati kanak-kanak kami? Tetapi tahukah kalian, sayangku, justru setelah setua ini baru kusadari, pada semua jejak kala itulah kurasa Allah mulai semaikan cinta ini. Cinta pada Al Quran.
Kesadaran masyarakat termasuk orang tua pada waktu itu, yang belum seluruhnya cerah dengan ajaran agama, membuat semangat belajar jadi seperti laut, bergelombang, kadang pasang, kadang surut, kadang tinggi melambung, tak jarang pula merendah lalu mengering. Jika musim sekolah negeri melaksanakan ujian, ketika itu tiap tiga bulanan, maka menjadi semakin jauh pulalah surau dari riuh ejaan diseling gurauan anak-anak santri. Begitu pula aku, terarah dalam keluarga yang memahami bahwa pendidikan formal harus lebih utama. Namun aku tak menyesali itu, hikmahnya kini aku menjadi merasa mulia dengan ilmu yang kudapat dari tempat formal itu pula (seperti yang kaulihat bukan?).
Tetapi Allah yang Maha menjaga tak pernah membiarkan hamba-Nya larut dalam gelapnya kehidupan. Hidayah-Nya selalu ditebar dalam signal-signal kasih-sayang, tinggal kita bisa dan mau menangkap signal itu atau tidak. Menginjak sekolah menengah, dipertemukan-Nya aku dengan kakak kelas yang punya perhatian. Dia (sayangnya laki-laki), namanya Ashari, aku memanggilnya Kak Hari, aktivis rohis di mushola sekolah. Dipinjaminya aku mushaf Al Quran terjemah terbitan Departemen Agama kala itu. Hampir setiap hari dia mengajakku berdiskusi, di perpustakaan, di serambi mushola, jarang-jarang di kantin. Belakangan ku ketahui dia selalu punya ayat yang dipilih untuk dikupas hari itu. Caranya tidak kaku, aku tak pernah merasa kalau cara dia itu terprogram.
Suatu hari dia menanyakan padaku, bagaimana pendapatku tentang minuman keras.
“Ya, haramlah,” jawabku waktu itu dengan tegas, kalau tak lebih tepat dikatakan ketus.
“Bagaimana dengan di negeri barat, di sana kan kalau sedang musim dingin perlu penghangat, antara lain bisa dengan mengkonsumsi miras itu. Beda dengan di sini, gimana tu?”
Aku mikir. Dari kecil aku terkondisi dengan konsep diri “anak pintar”. Aku selalu juara kelas, disayangi guru, juga orang tua, terutama Bapak. Konsep diri seperti inilah yang seringkali membuatku tak mudah menyerah ketika berdebat. Tapi waktu itu aku benar-benar belum tahu jawabnya. Mauku bisa menjawab dengan dalil, karena dengan begitu aku merasa keren, dan aku sudah sedikit mengenal cara Kak Hari, dia selalu punya ayat yang ingin dikupas. Mentog, aku diam beberapa lama. Sampai kami berpisah di akhir jam istirahat itu, aku belum “menang”.
O, iya, agar kau tak salah mengerti, harus kujelaskan tentang hubungan kami waktu itu. Alhamdulillah, masa itu, pergaulan belum segawat sekarang. Dulu pada masa aku remaja itu, rasa persaudaraan antara teman begitu kental. Teman sekelas seperti saudara, angkatan di atas kita seperti kakak, dan begitu juga adik kelas memang layaknya adik beneran, laki maupun perempuan. Meski sekarang, setelah lebih mengerti, akupun tak bisa menyetujui pertemanan yang seperti kualami waktu itu. Syariat tetaplah tidak membolehkan. Alhamdulillah, sekarang anak-anak sekolah kelasnya dipisah, laki dan perempuan, seperti sekolahmu kan, Sayang?
Sampai di rumah, ku tenggelamkan diriku dalam ayat-ayat terjemahan Al Quran. Membayar kekalahan yang tadi. Alhamdulillah kutemukan, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafqahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berfikir. [QS. Al-Baqarah : 219]. Pada kalimat “beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya” aku beri stress merah. Kalimat itulah yang keesokan harinya kubawa dalam uraianku yang berapi-api mungkin lebih dari berapi-apinya pidato Bung Karno, atau Bung Tomo. Ketika terakhir kami bertemu, Kak Ashari lulus, kukembalikan mushaf yang dipinjamkannya dulu, tidak dia terima. Dia berikan padaku agar aku menjadikannya pedoman hidup.
“Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang engkau dustakan?”
 Pertanyaan yang diulang-ulang Allah dalam kalam-Nya Ar-Rahmaan ini pun selalu menggedor-gedor hatiku bila kuingat kemudahan sepanjang hidupku. Sedari kecil belajar tidak terlalu keras menurutku, tetapi prestasi indah selalu dihadiahkan pada setiap akhir ujian sekolah. Ketika teman lain susah-payah mencari sekolah lanjutan, Allah selalu beri aku sekolah terbaik tanpa kesulitan. Selesai kuliah diberi pekerjaan yang diantri banyak orang, juga dengan sangat mudah. Dari kuliah ikatan dinas tinggal mengganti Nomor Induk Mahasiswa (NIM) menjadi Nomor Induk Pegawai (NIP). Maka benarlah Allah selalu menanyai kita “Maka nikmat Rabb kamu yang manakah yang engkau dustakan?”
Dan hidayah yang disemai Allah dulu itu, Sayang, ditancapkan-Nya kuat-kuat ketika aku kuliah. Dipertemukannya aku dengan para aktivis da’wah di masjid kampus. Maka tak ada waktu terbuang di luar kegiatan kuliah. Karena di luar waktu kuliah tak ada kegiatan yang lebih kucintai selain bersama dengan orang-orang  yang sangat menggilai ilmu dan amal shalih. Sampai aku bertemu dengan lelaki yang kemudian menjadi imam kita, juga dalam kerangka da’wah ini.
Kita menikah dalam da’wah, untuk membesarkan barisan da’wah, hingga satu-satu lahir kalian, jundi-jundi da’wahku. Dengan nikmat yang sebesar ini, maka kian suburlah cintaku pada Al Quran. Aku benar-benar tak bisa melewatkan waktuku begitu saja tanpa mengejanya, menekuri tiap jengkal halamannya, mentadabburi setiap ayatnya. Jadi, tolong biarkan aku dengan cinta ini. Belumkah kau pahami rasa yang kuurai ini?
Masih ingatkah, waktu itu kita mendengar deklarasi ODOJ? Gerakan tanda cinta Al Quran untuk sama-sama komit dengan kesepakatan tilawah satu juz per hari. Kala itu dengan suka cita kita sama-sama menyambutnya. Kita tergabung dalam satu grup WhatsApp. Untuk kalian yang masih kecil, yang belum boleh punya hape, kita sepakati untuk laporan khalas sekuatnya, satu juz, setengah juz, satu halaman, ke Mama?
Perlahan sukacita itu tergerus. Kalian mulai ada yang sibuk les, ikut ekskul, bikin pe-er. Awalnya ada izin, “Ma, maaf aku khalasnya nanti malam ya,” kemudian “Ma, maaf aku gak khalas, tertidur, kecapekan....” Lama-lama berita itupun tiada. Jika kuingatkan, maka ada yang mulai lagi, ada yang enggan, ada yang banyak alasan, juga ada yang marah.
Maka kemudian kulanjutkan cinta ini sendiri. Alhamdulillah, ba’da maghrib dan ba’da subuh menjadi saat terindah untuk menikmati cinta ini. Ketika kebiasaan itu sekian lama kujalani, kemudian subur dan berakar cintaku ini, kenapa terkadang kulihat kilat tak nyaman di matamu. Kenapa, Sayang? Apa yang mengganggumu?  Bila kau rindu, kembalilah. Kembalilah pada cinta kita, suka cita kita dulu. Jika kau cemburu, mengertilah, kaupun bisa mencintainya, dengan cinta yang sama.
Kini kalian telah boleh pegang hape, manfaatkanlah. Yuk gabung lagi dengan ODOJ. Bila dulu kau cerita tentang temanmu yang miring memandang ODOJ, biarkan saja. Ada Allah, yang lebih lembut pengetahuannya, asal khalasmu bukan untuk piala atau pujian-pujian adminmu, atau terkejar deadline laporanmu, maka amal shalih sebagai pecinta Al Quran insyaa Allah kan kau sandang, Sayang.
So, kumohon kini kau mengerti, tak ada yang perlu kau cemburui. Maafkan telah buatmu cemburu sebelum ini. Love you full.
Identitas penulis :
Nama               : Wiwik Diah Agustiningsih (Ummu Siwi)
Grup                : 2104
Pekerjaan         : PNS, ibu rumah tangga
FB                   : Bu Wiwik

Comments

Popular posts from this blog

TENTANG MAN JADDA WAJADA

Oleh Nila Rofiqoh Sumber Bisa karena biasa. Mungkin slogan itu yang selalu kupegang teguh untuk menguasai beberapa ilmu dalam kehidupan. Sampai akhirnya sebuah pelajaran berharga yang benar-benar kudapatkan. Dan bahkan sejak peristiwa itu segala hal kecil kuperhatikan supaya tak salah langkah. Semua berawal saat Dokter memvonisku untuk masa pengobatan yang harus kujalani adalah selama enam bulan tanpa putus. “Tapi kan ini tuh gak sebentar dan nanti kalo aku tiba-tiba lupa sehari gimana? Ngulang dari awal kan Dok?.” Itulah protes pertamaku ke dokter THT yang sudah menanganiku selama tiga tahun terakhir. Saat itu aku memang bukanlah anak yang  aware  dengan kondisi badan sendiri, olahraga jarang, makan terkadang ingat terkadang pun lupa, apalagi yang namanya sayur mayur ooh tidak itu salah satu yang kusisihkan pertama dipiring ketika bertemu dengannya. Tapi untungnya aku masih suka buah-buahan dan ini yang akhirnya membantuku lekas sembuh dari penyakit yang dibawa ole

ODOJ Spirit Message (OSM)

Subhanallah .... Berjuang dalam jamaah kebaikan itu menyenangkan apalagi didalamnya ada ruh-ruh kebaikan yang memompanya di setiap penjuru. Namun dari semangat-semangat kebaikan yang kita tebarkan itu, perlu kita waspadai ada virus-virus yang menyusup dalam amal sholeh kita. Ya virus itu adalah niat kita, ya niat kita ... !!! Saudaraku ... kita berjuang bukan ingin dipuji dan disanjung bak pahlawan yang namanya harum tercetak dalam sejarah. Karena jika niat kita sudah melenceng maka sejatinya kita sedang mengumpulkan bahan bakar kita sendiri. Naudzubillah... Kita berjuang bukan hanya sekadar ingin memperbaiki akhlak atau memiliki peran kebaikan dalam sebuah negara, melainkan kita ingin berjuang untuk kebenaran Islam yang haq dan perjuangan itu menjadi jembatan surga yang kita impikan. Biarlah sebagian mereka melemparkan cacian dan hujatan diatas kebenaran yang menjadi pilihanmu, Tangkaplah cacian dan hujatan itu menjadi kumpulan puing-puing yang mampu meringankan timban

Mendesain Kematian

Oleh: Rochma Yulika Ingatlah pada sebuah kampung di mana kita berasal. Ingatlah pada sebuah kampung di mana kita akan tinggal.  Ingatlah pada sebuah kampung di mana kita akan hidup kekal.  Langkah-langkah kaki dalam mengisi hari. Langkah-langkah kaki menapaki jalan Ilahi. Adalah langkah menuju kehidupan hakiki.  Janganlah merasa bahwa di dunia ini adalah tempat tinggal kita. Janganlah merasa bahwa di dunia ini kita akan hidup selamanya.  Bila kita mampu menyadari.  Bila kita mampu memahami. Bahwa yang hidup akan mati Bahwa yang hebat menjadi tak berarti. Dan semua akan kembali.  Sudahkah kita mendesign akhir hidup kita?  Sudahkah kita mengukir sejarah dengan banyak berkarya?  Sudahkah kita berjuang tuk tegakkan kalimat Nya?  Dan sudahkah kita berkorban dengan segala yang kita punya?  Seperti apa kematian kita? Rancang dari semula.  Hingga sesal tak lagi ada. Hingga mulia jadi karunia. Hingga syahid menjadi nyata. Setiap detik yang kita lalui mar